Selasa, 10 Juli 2012

~ KESAKSIAN PROF. IRWANTO: "MALPRAKTEK MENGUBAH HIDUPKU DALAM SEJAM" ~ Professor Irwanto adalah sesosok pria yang aktif dalam isu-isu sosial, sepert HIV / AIDS, narkoba dan penghapusan seksual komersial anak. Di dalam kondisinya yang cacat, ia dianugerahi penghargaan oleh MURI sebagai Guru Besar Penyandang Cacat pada bidang Kemanusiaan. Namun tahukah Anda bahwa kondisi cacat yang dialaminya adalah akibat dari kasus malpraktek yang berawal dari rasa sakit yang ia rasakan di dadanya? “Sebelum tidur, saya merasakan dada saya tidak enak rasanya. Seperti ada yang menekan dan mengikat saya. Sebenarnya tidak sakit sekali, tapi seperti ada yang menekan di dada saya,” kisah Irwanto. Berawal dari rasa sakit inilah, ia pun pergi ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, tanpa diduga, dokter langsung meminta agar Irwanto menjalani pengawasan di ICCU, karena dikuatirkan terjadi sumbatan pada jantungnya. Semenjak awal, dokter hanya melakukan pembicaraan dengan isteri Irwanto. Kehadiran Irwanto tidak dianggap sama sekali. Tanpa berkonsultasi lansung dengan Irwanto, tindakan medis dilakukan oleh para dokter terhadap Irwanto. Ternyata, cairan infus yang dimasukkan ke dalam tubuhnya akan mengubah hidupnya untuk selama-lamanya. Tanpa pemeriksaan kondisi klinis lebih lanjut, Irwanto langsung diberikan obat untuk mencairkan darah, koagulan yang namanya streptoginase. Satu jam setelah masuk rumah sakit dan diberikan obat dalam cairan infusnya, Irwanto merasakan sakit yang luar biasa di tengkuknya, lalu terjadi trombose, keluar darah dari gusi-gusi Irwanto dan ia langsung mengalami kelumpuhan. Irwanto dipenuhi kebingungan, apakah yang dialaminya saat itu nyata atau tidak? Darah terus keluar dari hidung dan mulutnya. Baru beberapa saat yang lalu ia merasa dirinya baik-baik saja, lalu kemudian ia sudah seperti mayat hidup, tidak dapat menggerakkan anggota badannya sama sekali. Saat itu, dokter yang merawat Irwanto mengajak isterinya untuk pergi ke pojokan kamar dan menjelaskan bahwa Irwanto sudah tidak memiliki pengharapan lagi. Ia akan segera meninggal. Parahnya lagi, Irwanto mendengar sendiri percakapan yang dilakukan oleh dokter dengan isterinya. “Dokter tega-teganya memanggil isteri saya di sebuah ruang sempit dan mengatakan, ‘Ibu, saya sudah tidak dapat membantu ibu. Bapak pasti akan meninggal karena infeksinya sudah sampai ke paru-paru’,” kisah Irwanto. Semua pikiran akan masa depan kehidupannya dan kehidupan keluarganya terus melintas di kepalanya. “Bagaimana nanti dengan tugas-tugasku? Berapa biaya yang harus aku tanggung nanti? Anak-anakku akan makan apa nanti? Semuanya campur aduk di otak saya. Saya melihat isteri saya sudah mulai bingung menangis, anak-anak saya menangis, teman-teman saya sudah mulai bingung juga, dan saya hanya bisa bengong seperti zombi,” kisah Irwanto dengan kepiluan yang tergambar jelas di wajahnya. Namun kematian ternyata belum berpihak pada Irwanto. Ia masih bertahan hidup meskipun mengalami kelumpuhan dari dada ke bawah. Karena kondisi tersebut, Irwanto sempat berpindah-pindah rumah sakit dan mengkonsumsi berbagai macam obat-obatan. Ketika ia memutuskan untuk berobat ke Singapura, bertolak belakang dengan semua diagnosa dokter yang telah diterimanya, dokter di Singapura menyatakan kala itu sebenarnya ia hanya menderita kelelahan semata. “Pada tagihan obat saya, tercatat sebuah obat yang namanya streptoginase, dan obat itulah yang diduga memecahkan syaraf saya. Dan saya mulai ingat, persis pada waktru infus berisi obat itu masuk, saya sakit tengkuk, dan saya minta dioleskan obat gosok, lalu kemudian darah keluar dari mulut dan hidung saya, itulah saatnya saya mengalami kelumpuhan. Bukan karena sebab yang lain,” ujar Irwanto menceritakan awal kelumpuhan dirinya yang mengubah jalan hidupnya secara total. Dan ternyata semua diagnosa dokter mengenai infeksi yang sudah sampai ke paru-parunya adalah sebuah kesalahan. Para dokter di Singapura bahkan mentertawakan diagnosa awal yang divoniskan pada Irwanto. Irwanto merasakan kebingungan yang tak berkesudahan akibat peristiwa ini. Hal itulah yang meyebabkan ia akhirnya menderita depresi. Menyadari bahwa dirinya telah mengalami kelumpuhan dari dada sampai ke ujung kaki, Irwanto harus menerima kenyataan bahwa hidupnya akan berakhir di kursi roda. Irwanto pun merasa putus asa. “Hari-hari itu saya benar-benar menderita depresi berkepanjangan. Saya tidak mau ada sinar lampu, saya tidak mau mendengar suara apapun, saya benar-benar hanya berpikir untuk mati saja waktu itu. Lalu kemudian kalau berdoa saya selalu mempertanyakan Tuhan, kenapa harus saya yang mengalami ini? Dan bukan hanya itu saja, saya juga mempertanyakan kenapa saya sekarang jadi begini?” ujar Irwanto. Secara manusiawi, Irwanto pun mengalami keterpurukan akibat malpraktek yang menimpanya. Namun isterinya selalu ada di sampingnya untuk memberikan dukungan. Dengan setia ia terus memperhatikan Irwanto dan mendampingi Irwanto dengan penuh pengertian. Jika Irwato sudah mulai memukuli meja, tempat tidur dan badannya dengan kedua tangannya yang sudah mulai bisa digerakkan, isterinya akan langsung mengajak Irwanto untuk membaca Alkitab. Meskipun berada dalam keterpurukan yang terdalam dalam hidupnya, namun firman yang dibacakan isterinya terus didengarkan oleh Irwanto. Dalam keputusasaannya, Irwanto bergelut dengan pilihan-pilihan yang ada di dalam benaknya. Mau tidak mau, ia harus mengambil keputusan dan respon yang tepat atas kejadian yang menimpanya. “Pada waktu sudah diberitahu bahwa ini kesalahan dokter, saya kemudian mulai merefleksikan apa yang akan saya lakukan selanjutnya. Apakah saya mau tetap hidup sambil terus menyesali apa yang telah terjadi di belakanga, atau saya mati saja, atau pilihan lain saya memilih hidup sambil mulai melupakan apa yang telah terjadi dan fokus ke depan. Perlahan-lahan, saya mulai menemukan jawaban saya sendiri. Kalau saya selalu hidup dengan penuh beban karena dokter yang salah, hidup saya akan selalu dipenuhi dengan kemarahan. Dan setiap kali saya marah, kondisi saya drop. Suhu badan saya tiba-tiba turun, saya menjadi sangat tidak nyaman di tempat tidur, emosi saya pun mulai jelek. Lalu saya akhirnya mengambil keputusan, saya harus bisa memaafkan dokter itu. Saya terus berdoa agar saya betul-betul bisa menghilangkan segala kemarahan saya terhadap dokter itu dan mengatakan, urusan saya dengan dia selesai,” kisah Irwanto. Semenjak saat itulah Irwanto mulai bisa menikmati latihan yang harus ia jalani untuk menggerakkan anggota-anggota tubuhnya, dan setiap kunjungannya ke dokter bisa dinikmatinya dengan baik. Dengan semangat yang baru, Irwanto pun bangkit untuk melangkah dalam panggilannya. Irwanto sekarang dapat melihat bahwa apa yang dialaminya bukanlah suatu cobaan ataupun ujian semata, namun Tuhan hanya ingin agar ia melakukan tugas yang lain, tugas yang telah ditetapkan-Nya menjadi tujuan Irwanto hidup di duia ini. “Tadinya saya melakukan tugas yang lain, tapi sekarang saya diberikan hak istimewa untuk melakukan pekerjaan saya saat ini. Dan buktinya dengan keadaan saya yang seperti ini, saya bisa bertemu dengan banyak orang, saya bisa memberikan inspirasi kepada banyak orang, mungkin itulah maksud dari segala peristiwa yang harus saya lewati kemarin. Bagian dari pemulihan saya justru ketika saya melakukan tugas-tugas ini, saya mendapatkan dan menemukan banyak sekali hal yang memompa semangat saya untuk bangkit kembali. Optimisme hidup saya justru bangkit karena saya ketemu langsung dengan anak-anak yang saya bantu, ketemu NGO-nya, ketemu masyarakat. Pada akhirnya saya menyadari, selain Tuhan, yang menentukan hidup saya itu adalah pilihan yang saya buat sendiri. Jadi kalau saya tidak mengusahakan apa-apa, menyerah dengan keadaan saya, maka tidak akan terjadi apa-apa,” ujar Irwanto menutup kesaksian hidupnya yang begitu menginspirasi banyak orang. Bagi Anda yang mengalami sebuah peristiwa yang tak dapat dimengerti, jangan pernah menyerah. Teruslah bangkit, maka Anda akan menemukan pelangi dari segala peristiwa menyakitkan yang harus Anda alami. TUHAN YESUS Mengasihi, Memberkati & Menyertai Anda selalu... [ Sumber: Prof. Irwanto ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar