Rabu, 27 Juni 2012

RASA BENCIKU AKAN KRISTEN MEMBUATKU MUAK BACA ALKITAB
Kesaksian: Ibrahim dari Albania




Namaku adalah Ibrahim dan aku berasal dari keluarga Muslim dari Kosovo. Sejak masa kecil aku sangat tertarik mendalami agama. Aku kagum dengan keterangan bahwa Tuhan menciptakan segalanya di surga dan bumi dan aku sangat ingin tahu lebih jauh siapakah Tuhan ini. Aku ingat sewaktu kecil nenekku mengajarku untuk selalu mengatakan Bismillah arahmani arahami sebelum dan setelah tidur, dan juga sebelum makan dan berterima kasih pada Tuhan setelah makan dengan mengucapkan alhamdulillah. Nenek sering mengajakku masuk kamarnya untuk sholat bersamanya. Dia mengajarku untuk mengucapkan bismilah tiga kali untuk mengusir rasa takut. Dan aku pun melakukannya.

Keluargaku terdiri dari kedua orang-tuaku, abangku yang berusia 8 tahun lebih tua dariku dan aku sendiri. Saat aku duduk di bangku SD, abangku telah mulai kuliah di perguruan tinggi. Dia sangat rajin belajar, sampai suatu hari dia keracunan gas air mata di asrama perguruan tinggi. Pasukan penjajah yang saat itu berada di Kosovo ingin mengusir semua mahasiswa keluar gedung asrama dan mereka lalu melemparkan gas air mata ke dalam gedung. Sejak saat itu, kesehatan abangku jadi menurun. Setahun kemudian dia menderita sakit parah dan para doktor tidak bisa banyak membantunya selain mengatakan sistem syarafnya rusak akibat kelemahan otot.

Tidak sampai setahun kemudian, abang meninggal di usia 22 tahun. Tragedi ini merubah kehidupan keluarga kami. Saat itu aku berusia 14 tahun. Ibuku lalu menderita depresi berat, sedangkan ayahku berusaha mencari ketenangan dari Islam dan mulai beribadah serius. Aku sendiri jadi semakin giat mencari tahu tentang Tuhan dengan cara memperdalam pengetahuan dan kesetiaanku pada Islam. Kupikir hanya Tuhan yang tahu alasan sebenarnya kematian abangku dan kami harus bersabar menerima keputusan apapun, karena kejadian baik dan buruk semuanya berasal dari Dia.

Tragedi kematian abangku membuatku semakin ingin tahu tentang Islam. Aku seringkali pergi ke mesjid, sholat, baca Qur’an dan berbagai literatur Islam lainnya, dan aku merasa puas dengan apa yang kulakukan. Setiap kali aku pergi ke mesjid, aku berterima kasih bahwa aku terlahir sebagai Muslim, karena Islam adalah satu²nya agama yang diterima Allâh sebagai jalan keselamatan.

Tak lama kemudian, aku jadi yakin bahwa Qur’an adalah wahyu terakhir dari Allâh; Tuhan itu esa, Dia tidak dilahirkan atau melahirkan siapapun; tiada yang serupa denganNya. Keputusannya mutlak dan aku harus pasrah saja menerima takdir. Tuhan berhubungan dengan orang² secara langsung tanpa perantara. Tuhan tidak butuh punya anak segala untuk jadi perantara-Nya, sehingga pandangan orang² Kristen tentang Tuhan jelas salah sekali. Mereka harus dihukum karena melakukan “syrik,” yang merupakan dosa terbesar manusia.

Karenanya, aku harus berhati² agar tidak berhubungan dengan berhala apapun, tidak menduakan Allâh karena Allâh bisa ngamuk dan aku bakal dihukum berat. Karena alasan² ini, dan juga karena yakin para kafir telah mengubah firman Allâh, maka aku sangat benci dengan orang² Kristen dan Yahudi. Apalagi, imam² di berbagai mesjid yang kujumpai juga berkhotbah penuh kebencian terhadap masyarakat Kristen dan Yahudi.

Aku ingat suatu waktu tatkala pamanku membawa anaknya ke mesjid untuk disunat, sang imam mengajarkan bahwa kaum Yahudi adalah masyarakat terkutuk dan tiada hal yang baik yang dihasilkan mereka. Mereka hanya melakukan hal yang jahat saja, dan tentunya Allâh di Hari Kiamat akan menghukum mereka paling berat. Aku tidak sepenuhnya setuju dengan perkataannya, karena kuanggap orang² Kristenlah yang layak dihukum lebih berat daripada orang² Yahudi karena mengubah orang jadi Tuhan, dan menyembah tiga tuhan pula. Aku sungguh tidak mengerti dan menerima bagaimana mereka sanggup melakukan hal itu. Hal itu sungguh memuakkan bagiku.

Dengan pandangan tentang Islam dan Kristen seperti ini, aku lalu pindah hidup di ibukota, yakni Prishtina, dengan tujuan mulai belajar di perguruan tinggi. Di tahun kedua aku mengambil keputusan untuk menyewa kamar bersama saudara sepupuku sambil kuliah di Prishtina. Ini mungkin masa² yang paling menyenangkan dalam kehidupan mahasiswa kami karena kami sering bercakap² tentang berbagai hal. Saudara sepupuku juga berasal dari keluarga Muslim, tapi dia lebih sekuler daripada aku. Meskipun demikian, dia sering baca² buku agama, dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Menurutnya, sebagai kaum intelek kami harus menunjukkan kehidupan kami tidak hanya melalui agama, tapi juga melalui prestasi karir dan ambisi hidup.

Saudara sepupuku ini punya paman di Finlandia yang murtad dan lalu memeluk Kristen. Sebenarnya dia adalah sepupuku juga, tapi karena usianya jauh lebih tua, aku memanggilnya dengan julukan paman. Dia jadi Kristen beberapa tahun yang lalu, dan berusaha melakukan kristenisasi terhadap sepupuku yang akhirnya enggan berbicara dengan paman. Kukatakan padanya bahwa aku tertarik bicara dengan paman ini karena aku banyak mendengar berita jelek tentang kemurtadannya dan bahkan kabar bahwa dia murtad agar dapet duit dari pihak orang² Kristen saja. Hal ini membuatku tanpa ragu melakukan diskusi agama saat pertama aku bercakap dengan pamanku melalui telfon.

Bagi pamanku di Finlandia, hal ini tentunya adalah lampu hijau untuk mulai diskusi agama. Aku bertanya padanya,”Mengapa kau berganti agama, paman?” Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan waktu diskusi lebih dari sejam saja. Dia terus melakukan pembicaraan per telfon, bahkan kadangkala setiap hari, selama berjam-jam. Aku menerima Alkitab pertama dalam bahasa Albania yang dikirim paman dari Finlandia, dan juga beberapa buklet lain dalam bahasa Albania. Selain itu, dia mengirim kaset² yang merekam perkataannya menjelaskan lebih intensif berbagai hal yang kami bicarakan dalam telfon. Aku dan saudara sepupuku mendengarkan kaset² ini tiap malam. Ada dua hal yang sangat sukar kuterima dari kaset² ini. Pertama, selain menjelaskan iman Kristen, paman juga mengritik Islam, dan terutama Muhammad. Hal ini membuatku sangat marah. Kedua, dia berdoa bagi kami dalam nama Yesus, dan terlebih lagi, dia menyatakan Tuhan sebagai babehnya. Aku tidak tahan mendengar doa² seperti itu dan biasanya aku mempercepat laju kaset untuk melewati bagian ini.

Setelah mendengar satu dari beberapa kaset itu, aku mulai membaca Alkitab untuk pertama kalinya, tapi lalu berhenti beberapa hari kemudian. Aku tidak tahan baca buku itu. Setiap kalimat yang kubaca terasa sebagai manipulasi atau editan tangan manusia. Terlebih lagi, rasa benciku akan agama Kristen dan orang² Kristen membuatku muak baca Alkitab. Meskipun begitu, aku tetap melanjutkan diskusi via telfon secara intensif dengan pamanku di Finlandia. Pada saat itu, saudara sepupuku juga mulai bergabung dalam diskusi meskipun akhirnya dia berhenti dan lebih memilih mendengarkan kaset² paman bersamaku.

Pamanku dari Finlandia ini sangat bersemangat dan bahkan berkobar-kobar akan agama barunya. Setelah itu aku melihat bahwa semua tuduhan jelek dari pihak keluargaku yang Muslim terhadapnya ternyata tidak benar. Pamanku jelas sangat yakin bahwa Yesus Kristus itu adalah satu²nya jalan ke surga. Pada saat yang sama dia promosi Kristen, aku pun menyerangnya dengan menyatakan Qur’an adalah wahyu terakhir dari Allâh, dijaga keasliannya oleh Allâh, Qur’an mengandung banyak penemuan sains dan jauh berkualitas dibandingkan Alkitab.

Kami bahkan berdebat dengan panas. Sekarang saudara sepupuku juga membantuku dan kami berdua bekerja sama sebagai tim yang berusaha menghancurkan pendapat pamanku melalui fakta² yang kami miliki. Aku menemukan beberapa buku di perpustakaan mesjid saat sedang sholat Jum’at. Kebanyakan dari buku² itu ditulis oleh Ahmed Deedat yang membahas kontradiksi Alkitab, perbedaan alkitab² Kristen, penyaliban hanya dongeng saja, dan berbagai kesalahan Alkitab (satu buku judulnya hebat banget: 50.000 kesalahan Alkitab).

Aku pun mendapatkan buku² lain dari teman²ku dan kupikir aku punya banyak senjata nih sekarang untuk melawan pamanku. Aku baca semua buku² itu, tapi meskipun semua tuduhan atas Alkitab tampaknya masuk akalku, aku tetap saja sukar percaya akan tuduhan² itu. Aku pelajari buku “Muhammad dalam Alkitab” oleh Abdul Ahad Daud yang dulu adalah pastor Katolik yang lalu jadi mualaf. Meskipun aku percaya bahwa Muhammad disebut dalam Alkitab, aku tetap tidak bisa yakin akan penjelasan Abdul Ahad Daud.

Menurut dia, bahkan Yohanes Pembaptis juga meramalkan Muhammad dan bahkan semua ramalan yang sudah jelas mengarah pada Yesus, disebutnya sebagai ramalan tentang Muhammad. Buku² ini bukannya memperkuat imanku akan Islam, tapi malah mengakibatkan hal yang sebaliknya. Meskipun begitu, aku tetap menggunakan buku² ini untuk melawan pamanku, tapi sudah tampak jelas sekali bahwa membuktikan Alkitab itu penuh salah bukan merupakan hal yang mudah. Hal ini bukan hanya karena pamanku punya jawaban² tepat untuk menyangkal tuduhanku, tapi juga karena buku² kritik Alkitab itu justru mengecewakanku karena jelas² mengganti segala ramalan dan pernyataan bagi Yesus menjadi bagi Muhammad. Logikaku tidak bisa menerima keterangan seperti itu. Bisa kurasakan bahwa para penulis itu tidak jujur terhadap Yesus dan Kristen, meskipun aku adalah Muslim dan sama sekali tidak suka akan Kristen.

Selama aku berdebat dengan pamanku, saudara sepupuku mulai membaca Alkitab. Dia sering melakukan hal ini dan rasa tertariknya akan agama bertambah besar. Kubu kami di bagian Eropa selatan dan pamanku di bagian Eropa utara, dan kami membicarakan agama secara serius. Aku bahkan bolos kuliah untuk bisa berdebat per telfon. Pamanku sangat siap menghadapi semua tuduhan² kami dan aku tidak bisa melihat banyak faedah dari perdebatan ini.

Hal ini terus berlangsung sampai hampir 6 bulan dan tidak mudah untuk melindungi iman Islamku di saat yang sama terus-menerus menghadapi ajaran Kristen secara mendalam yang semakin lama malah semakin tampak masuk akal. Aku bahkan mulai mimpi² segala. Di saat lain, aku tidak bisa tidur memikirkan perdebatan kami. Dalam beberapa mimpiku, aku malah jadi Kristen segala dan aku bangun ketakutan. Aku bayangkan jika ini terjadi bagaimana reaksi keluargaku, terlebih lagi aku bakal masuk neraka karena telah melakukan syrik.

Meskipun aku tidak mau lagi baca Alkitab, dari sedikit yang kubaca dan dari percakapanku dengan paman, beberapa ayat² Alkitab terus tercantum dalam benakku: “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tiada seorangpun yang bisa datang ke Bapa tanpa melaluiku.” (Yohanes 14 : 6); “Aku dan Bapa adalah satu.” (Yohanes 10 : 30); “Dia yang mendengar perkataanku dan percaya … akan memiliki hidup yang kekal dan tidak akan mati; dia telah menyebrang dari kematian ke kehidupan.” (Yohanes 5 : 24); “Dia yang mengenalku, mengenal pula yang mengirimku.” (Yohanes 12 : 45). Semua ayat² ini berhubungan dengan Yesus, pada saat yang sama membahas keilahian Yesus pula dan hal ini sangat terasa “berat” bagiku. Benakku berkecamuk. Aku jadi tidak tenang.

Di manakah kebenaran ? Di Alkitab atau di Al-Qur’an ? Apakah Muhammad itu Nabi terakhir ataukah Yesus yang mengaku sebagai Juru Selamat dunia ? Apakah mungkin semua ini hanyalah godaan iblis agar aku memeluk Kristen ? Bagaimana jika ternyata Yesus datang beneran untuk mengampuni dosa² kita ? Dari semua itu, satu hal yang jelas bagiku: tidak mungkin baik Qur’an dan Alkitab sama² benar; kebenaran ada di salah satu buku² itu. Tuhan tidak mungkin mewahyukan dua keterangan yang saling bertentangan. Hanya ada satu kemungkinan: Alkitab atau Qur’an yang benar, demikian pula Kristen atau Islam yang benar. Dan peperangan bathin ini terus berlangsung.

Tapi bagaimana ya jika Yesus benar² muncul di hadapanku seperti yang kudengar dari pamanku bahwa Dia memang sering melakukan hal ini berkali-kali ? Aku mendengar kesaksian Gulshan Ester di mana dulu dia lumpuh dan dia berdoa selama tiga tahun terus-menerus. Akhirnya Yesus muncul di kamarnya dan dia lalu sembuh dan bisa berjalan. Dulu dia berdoa minta kesembuhan dalam nama Allâh, dan bahkan mengunjungi Mekah beberapa kali. Tapi yang menjawab doanya ternyata Yesus dan ini mengubah hidupnya secara keseluruhan. Tapi tidak, tidak, aku tidak akan terjebak dalam hal itu; aku tetap beriman pada Islam dan bahagia dengan pilihanku. Bahkan jikalau pun Yesus muncul di hadapanku, aku tetap akan menolak dia. Tapi bisa gak ya menuduhnya sebagai jelmaan setan ? Aku sungguh tidak tahu.

Aku berhenti diskusi via telfon dengan pamanku. Kukatakan padanya kita sudah banyak diskusi tentang Islam dan Kristen, aku mengerti pandanganmu tapi maaf, aku tetap beriman Islam. Aku tidak mau lagi berbicara dengannya saat dia menelfonku. Sekarang malahan sepupuku yang melanjutkan percakapan dengannya. Ternyata dia sangat kagum dengan Alkitab yang dibacanya. Suatu hari dia datang padaku dan berkata,”Ibrahim, kupikir setiap orang intelek perlu baca Alkitab setidaknya sekali dalam hidupnya. Buku ini layak dibaca.” Aku heran apa sih yang terjadi pada dirinya ? Dulu dia enggan bicara tentang masalah agama dan tidak memperbolehkan pamannya promosi Kristen terhadapnya. Tapi sekarang, dia malah baca Alkitab, dan malah mulai bicara dengan pamanku dan mulai memintaku baca Alkitab segala. Kukatakan padanya ya, meskipun dalam hati aku enggan karena tahu iman Islamku mulai goyah. Terlebih lagi, Qur’an merupakan buku yang sangat sulit dimengerti dan untuk memahami satu ayat saja kau perlu baca tafsirnya. Aku belum sempat baca tafsir meskipun telah baca banyak buku tentang Qur’an.

Aku mengambil keputusan untuk berdoa pada Tuhan secara langsung karena Dia tentunya mampu menunjukkan kebenaran bagiku. “Wahai Tuhan, aku tahu Islam adalah agama yang benar, tapi jika ternyata bukan, maka tolong beritahu saja.” Aku mengatakan kalimat ini setiap malam untuk mencari kebenaran illahi. Aku tidak membicarakan doaku ini pada siapapun, baik dengan pamanku atau saudara sepupuku. Aku ingin hal ini hanya diantara aku dan Tuhan saja, karena aku sangat bingung.

Saudara sepupuku terus membaca Alkitab dan dia mempelajari dengan seksama secara dalam setiap hari segala pengetahuan dan ajaran yang dia temukan di dalamnya. Tak lama kemudian, dia mengatakan padaku akan keputusan terpenting dalam hidupnya: dia ingin ikut Yesus dan percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan. Alkitab sangat berarti baginya dan aku merasa kehilangan teman kamarku, saudara sepupuku, teman baikku. Aku jadi sangat marah. Kupikir mulai sekarang, kami tidak bisa lagi jadi teman kamar. Aku harus pergi dari tempat ini. Aku melihat baris pembatas karena dia sekarang jadi Kristen. Aku marah padanya, tapi apa yang bisa kuperbuat ? Itu memang keputusannya.

Secara umum, semuanya ini merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan. Semua peperangan dalam benakku mengakibatkan aku berpikir yang tidak². Sebuah suara kasar terdengar dalam benakku di suatu malam, menyuruhku melompat dari lantai sembilan gedung kami. Aku sadar ada yang tidak benar yang terjadi dengan diriku. Tapi mengapa kok Tuhan membiarkan semua ini kualami ? Aku berdoa padanya untuk meinta tolong lagi. Aku berusia 19 tahun dan aku merasa bagaikan menanggung segala beban dunia di punggungku.

Beberapa hari kemudian, saudara sepupuku memberiku buku yang berjudul “The Place I Desire Most” (Tempat yang Paling Kudambakan). Dia sudah membaca buku ini sampai habis dan melihatnya sebagai kesempatan baik untuk mempengaruhiku. Lebih dari itu, dia pun mulai berdoa bagiku sekarang dan mencoba menolongku dalam segala hal. Dia bahkan udah jadi Kristen selama dua minggu sekarang. Aku berjanji padanya akan baca buku itu dan meletakan buku itu di atas meja. Setelah itu dia tidur dan aku pun baca buku lain. Tapi ada sesuatu yang mendorongku untuk memeriksa buku dari sepupuku itu. Aku lalu membacanya sendirian di ruang belajar. Kubuka halaman pertama. Tampaknya buku ini cukup menarik untuk terus dibaca. Penulisnya berasal dari abad lalu dan biasanya aku tidak suka baca buku² tua, tapi buku ini tampak berbeda bagiku. Kalimat²nya tersusun rapi dengan indahnya, setidaknya begitulah perasaanku. Setiap kalimat yang kubaca mendatangkan perasaan tenang. Satu paragraf menarik perhatianku: “Di hari pengadilan, Tuhan akan bertanya padamu: ‘Apa yang telah kau lakukan terhadap AnakKu? ‘

Tapi aku telah banyak berbuat baik, Tuhan; aku lakukan ini dan itu…!

Tapi jawab Tuhan: ‘Aku tidak bertanya tentang perbuatan baikmu, tapi kutanya apa yang telah kau perbuat terhadap AnakKu?’

Kalimat² ini membuatku tercengang dan menarik seluruh perhatianku. Bukannya perbuatan baik, renungku, tapi apa yang telah kau perbuat terhadap Yesus. Apakah kita telah menerima-Nya dalam hidup kita atau tidak ? Ini tampaknya bagaikan pertanyaan akan hidup kita. Tepatnya, hidupku saat ini.

Sebelumnya aku mengira hanya melalui perbuatan baik aku bisa menghadap Tuhan, dan menurut penjelasan di buku itu, hal itu sia² belaka. Pada saat itulah terjadi kehancuran dalam hidupku, dan jiwaku mengalami masa revolusi. Aku merasa bagaikan Tuhan berbicara padaku melalui buku itu. Dan tak lama setelah aku membaca dan merenungkan hal ini dan berbagai ayat di dalamnya, sesuatu yang lebih ajaib terjadi padaku.

Aku mendapat penglihatan. Di dalam benakku tampak jelas dua sosok manusia. Rasanya bagaikan menonton adegan di tembok² ruangan, meskipun penglihatan itu hanya terjadi dalam benakku. Aku melihat seseorang berlutut dan orang ini berwajah sangat buruk, kulitnya melepuh, berambut panjang, dan dia menangis keras. Orang yang lain berdiri di sebelahnya dan mengenakan baju dan jubah putih menyala. Dia tampak bagaikan Yesus di film Kristen yang baru² ini kulihat. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tampak kabur. Orang berbaju putih ini merenggut rambut orang yang sedang berlutut. Aku bisa melihat wajahnya yang buruk dengan sangat jelas dan dia menjerit dan melolong keras. Awalnya, aku sangat takut dengan apa yang kulihat. “Aku tentunya sudah gila,” demikian pikirku.

Tapi setelah itu aku mendengar suara yang lembut tapi jelas dalam benakku yang memberitahuku: “Kau lihat orang yang sedang berlutut itu ? Orang itu adalah setan yang selama ini terus menipumu. Tuhan membebaskanmu saat ini dan kau akan merdeka untuk selamanya.” Penglihatan baru lalu muncul dalam benakku, dan kali ini menampakkan Yesus Kristus disalib. Suara itu lalu mengatakan: “Yesus mati bagi dosa²mu. Dialah kebenaran dan satu²nya jalan.” Aku segera sadar bahwa Tuhan sedang menunjukkan padaku jalan dan kebenaran yang selama ini kucari.

Aku merasa diriku berdosa dan aku lalu bertobat dan menyerahkan hidupku pada Yesus. Sekarang aku sangat yakin akan kebenaran. Aku merasakan di sepanjang hidupku Tuhan tidak pernah terasa sedekat dengan diriku seperti saat ini. Tuhan sendiri menyatakan diri-Nya padaku dengan cara yang sangat langsung dan ajaib. Tuhan sendiri yang datang menjawab doa² yang kupanjatkan setiap hari. Aku merasakan kelegaan besar. Sekarang aku bebas dari segala pertanyaan dan suara² jahat pihak musuh yang menyerangku. Tiada lagi peperangan dalam benakku. Aku merasa benar² diperbaharui, jadi orang baru sepenuhnya. Karena sudah mengalami pengalaman ini, aku tidak pernah bisa lagi jadi orang yang sama seperti dulu.

Aku letakkan imanku dalam Yesus Kristen, dan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, kusebut dia sebagai Tuhan dan Penyelamatku. Aku tidak kuasa menahan air mata. Sungguh luar biasa. Semuanya yang dulu kuimani, dalam sekejap mata hilang begitu saja. Tiada lagi ketakutan melakukan syrik atau ancaman hukuman neraka. Terlebih lagi, aku sekarang mengerti bahwa orang² Kristen tidak menuhankan orang biasa, tapi sebaliknya mereka tahu bahwa Tuhanlah yang datang ke bumi dalam wujud manusia. Hal ini sekarang jadi masuk akal bagiku karena kutahu Dia cinta umat manusia. Aku merasa bagaikan melalui lubang kecil yang sukar dan karenanya aku sedikit berdarah, menuju ke bagian lain yang penuh cahaya terang. Sekarang aku yakin aku berada di tempat yang aman dan para musuh sudah kalah berperang melawanku. Malam di tanggal 1 Maret adalah pengalaman tak terlupakan yang mengubah seluruh hidupku.

Aku ingin membangunkan sepupuku yang sedang tidur di kamar lain, tapi aku memilih menunggu keesokan harinya untuk kabar mengejutkan. Di pagi harinya, begitu dia buka mata dari tidurnya, aku berseru padanya, “Selamat pagi, saudaraku.” Aku katakan padanya bahwa sekarang aku percaya Yesus Kristus. Dia mengira aku bercanda saja, tapi aku tetap serius memberitahukannya. Dia tidak percaya apa yang kukatakan. Pikirnya, “Kemaren malam kami berdebat panas dan dia menolakku sepenuhnya, dan sekarang dia menyebutku sebagai saudaranya?” Dia bertanya padaku, ”Apakah kau benar² yakin ? Ngomong apa sih kamu ?”

Kujawab, “Iya, aku benar² yakin telah menemukan kebenaran. Aku telah menemukan kebenaran dalam Yesus.”

Kupeluk dia dan kuceritakan segala penglihatanku tadi malam. Kami bersuka cita bersama karena kami sekarang punya roh yang sama.

“Ini sungguh muzizat,” katanya. “Kau jadi berbeda dalam waktu semalam saja.”

Dia lalu memimpin doa bersama dan kami pun terus mengikut Yesus.

Kurenungkan kembali apa yang telah kualami. Tuhan sendirilah yang bertindak sehingga akhirnya aku percaya Yesus. Dulu aku percaya Dia hanyalah sekedar Nabi dan aku takut untuk memandangnya sebagai Tuhan, tapi sekarang aku malahan merasa tenteram karena beriman pada-Nya memberiku hidup yang kekal. Sekarang jika aku mengingat apa yang telah Yesus lakukan bagiku, hatiku penuh dengan rasa sukacita, damai, dan aman karena punya hidup yang kekal. Sungguh perbedaan yang sangat besar dengan yang dulu kurasakan.

Akan tetapi keputusanku untuk percaya pada Yesus karena tindakan Tuhan mendatangkan masalah sukar bagiku. Tak lama kemudian, keluargaku curiga terhadapku. Suatu hari, saudara sepupuku yang lain mengajakku untuk pergi bersamanya melakukan sholat Jum’at. Kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa pergi dengannya ke mesjid karena sekarang aku percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan dan percaya pada Yesus dan tidak lagi pada Muhammad. Awalnya dia kira aku bercanda, tapi setelah aku ngotot barulah dia percaya akan perubahan diriku. Dia segera menyampaikan hal ini pada paman²ku yang lain dan berita inipun menyebar sampai ke ayahku. Salah satu paman²ku adalah haji, dan dialah yang membiayaiku belajar di perguruan tinggi di Prishtina karena orangtuaku tidak mampu menolongku. Dia adalah Muslim taat dan aku dulu telah berjanji padanya untuk sungguh² belajar dan terus beriman pada Islam. Aku merasa tidak enak dengan janjiku yang dulu itu tapi sekarang Yesus jauh lebih penting bagiku. Aku yakin aku akan kehilangan bantuan finansialnya begitu dia tahu aku murtad, meskipun dalam hati aku yakin Tuhan tidak akan meninggalkanku. Di lain pihak, sejak kematian abangku, ayahku mulai beribadah Islam dengan taat, termasuk sholat lima waktu. Tentunya berita murtadku mencengangkan dirinya.

Segera setelah ayah mendengar perubahanku, dia datang dengan cepat menemuiku untuk bertanya apakah berita itu benar. Saat itu aku sedang berada di rumah ayahku. Ayah berkata,”Aku tidak mau percaya berita itu sebelum bicara denganmu. Apakah benar?” Aku berkata padanya bahwa berita itu benar, dan aku tidak lagi percaya pada Muhammad. Jantungku berdebar-debar keras sekali. Aku tidak percaya bahwa aku punya keberanian untuk mengatakan langsung perubahanku. Ayah sangat terkejut dan marah, dia berharap aku membatalkannya dan mengatakan yang sebaliknya. Dia langsung pergi keluar dan melakukan kegiatan berkebun sambil memikirkan hal ini. Aku memperhatikannya dari jendela kamarku dan bisa kulihat jelas bahwa dia sangat gelisah. Dia berhenti bekerja sebentar, menyentuh kepalanya, jalan² sebentar, dan lalu kembali bekerja. Di malam harinya, dia menemuiku lagi dan kali ini dia bertekad bicara sampai selesai.

Dia memulai pembicaraan dengan perlahan, “Ketahuilah bahwa saudara²ku ingin dapat jawaban darimu besok; aku tidak bisa bertemu dengan mereka jika kau tidak berjanji akan jadi Muslim lagi. Kau harus merubah pendirianmu malam ini.” Ini merupakan tekanan padaku meskipun tidak terlalu keras. Aku berkata, “Dengan penuh sesal, aku tidak bisa melakukannya. Kau bisa meminta apapun dariku kecuali meninggalkan Yesus. Aku benar² telah merenungkannya dengan seksama sebelum mengambil keputusan dan aku tidak bakal kompromi akan hal ini.” Sewaktu aku bicara pada ayah, sebuah ayat Alkitab muncul di benakku: “Siapapun yang menyangkalKu di hadapan manusia, Aku akan menyangkalnya pula di hadapan Bapaku di surga.” (Matius 10:33).

Aku tidak boleh menyangkal Yesus, karena apa yang Dia lakukan terhadapku, begitu pikirku. Tak lama kemudian ayahku berlutut di lantai dan mulai menangis: “Kumohon jangan lakukan ini terhadapku. Hal ini merupakan hal yang paling memalukan yang pernah kualami. Aku telah kehilangan seorang putraku dan sekarang satu²nya putraku yang lain memalingkan punggungnya terhadapku. Ini merupakan hal yang lebih jelek bagiku daripada kehilangan putra sulungku. Aku tidak tahan menanggungnya, aku tidak bisa.” Ini pun merupakan pengalaman terjelek yang pernah kualami. Aku tidak pernah membayangkan ayahku berlutut menangis di hadapanku. Terlebih lagi, dalam budaya kami hal ini sungguh tidak bisa dibayangkan. Aku pun tidak tahan akan keadaan ini dan mulai menangis. Kataku: “Kumohon agar jangan memintaku menyangkal imanku pada Yesus karena aku tidak sanggup melakukannya. Jika keberadaanku di rumahmu membuat situasi semakin jelek, maka besok aku akan segera pergi dari sini.” Dia lalu berkata dengan nada yang lebih agresif: “Tapi aku adalah ayahmu, aku yang menciptakanmu. Kau harus menurut padaku, “ katanya. Dia melanjutkan: “Apakah Alkitabmu mengajarmu untuk mentaati orangtuamu?” Kujawab, “Ya, memang Alkitab mengajarkan begitu.

Tapi pertama-tama, kita musti taat pada Tuhan.” Aku ingat Matius 10:37 yang menyatakan “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.” Aku berlari ke kamarku sambil berdoa pada Tuhan agar hatiku tenang menghadapi keadaan. Ayahku lalu masuk kamarku. Alkitabku tampak di atas mejaku yang penuh dengan buku² Kristen. Dia melihatku, lalu mengambil Alkitab dan mulai merobeknya lembar demi lembar. Setelah selesai merobek Alkitab, dia mengambil semua buku²ku di atas meja dan juga di lemari buku dan menyobeki semuanya. Dia berkata, “Imam mesjid ternyata benar tatkala dia mengatakan padaku untuk tidak mengijinkan anakku baca buku² seperti ini karena buku² bisa merubah iman orang. Aku belagak sok pinter dengan berkata padanya bahwa anakku hanya baca² karena ingin tahu saja. Aku bangga bahwasanya anakku punya rasa ingin tahu yang besar. Sekarang ini terima buku²mu dan jangan lagi bawa buku seperti ini ke dalam rumahku.” Dia membentakku. Aku tidak melakukan apapun, karena aku tahu ayahku sangat marah. Hatiku sangat sakit melihat buku² Kristenku, termasuk Alkitab, dirobek².

Tak lama kemudian aku pun meninggalkan rumah ayahku dan kembali ke Prishtina di mana aku kuliah. Aku berdoa karena aku tahu sekarang nabisbku benar² berada di tangan Tuhan. Paman yang dulu membiayai kuliahku mengatakan bahwa sebelum aku kembali lagi jadi Muslim, dia tidak akan membiayai kuliahku. Aku mengerti keputusannya, karena dia adalah haji dan tidak mungkin baginya menolong orang Kristen kuliah. Aku tetap saja percaya pada Yesus dan yakin Dia akan menunjukkan jalan keluar. Tak lama kemudian aku dapat kerjaan di Prishtina sehingga aku tidak usah mengemis² pada siapapun dan tidak perlu kompromi dengan iman baruku. Aku punya pekerjaan penuh (fulltime job = 40 jam selama 5 hari kerja) di organisasi internasional dan harus berhenti kuliah beberapa tahun sampai aku punya uang cukup untuk menyelesaikan kuliah. Tuhan membuktikan bahwa Dia setia dan nyata bagiku. Tidak sedetikpun aku merasa ditinggalkan atau dilupakan. Dia menunjukkan kemurahan-Nya padaku.

Hubungan dengan ayah terus saja sulit selama hampir empat tahun. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun padaku selama itu. Ketika aku pulang menjenguk mereka – terutama ibuku, karena dia paling menderita – ayah bahkan meninggalkan rumah karena tidak mau bertemu denganku dan lebih memilih bertemu dengan orang² lain. Aku selalu berusaha mendekatinya lagi, tapi dia tidak membuka kesempatan bagiku. Menurut pandangan ayahku, aku sudah bukan lagi putranya karena dia anggap aku sudah mengkhianatinya, tidak mau mentaatinya padahal dia sudah memohon padaku, dan aku telah mempermalukannya di hadapan orang² lain. Berdasarkan Qur’an dan ahadis, sebagai Kristen aku tidak layak lagi menerima warisan rumah atau harta bendanya yang lain. Dia berkata akan mewariskan segala yang dimilikinya bagi masyarakat Islam. Terlebih lagi, dia berkata pada ibuku bahwa si Ibrahim seharusnya bersyukur karena Syariah Islam tidak diterapkan di Kosovo. Kalau Syariah berlaku, maka aku tentunya dihukum karena murtad. Dia tahu sekali apa yang dinyatakan Syariah tentang murtad dan dia sendiri bersyukur kami hidup di negara sekuler sehingga aku tidak usah mati karenanya.

Meskipun demikian, dia tetap tidak mau berhubungan lagi denganku. Aku berdoa bertahun-tahun akan keadaan kami dan hampir saja putus asa mengira aku tidak akan pernah lagi berbicara dengannya. Tapi apa yang tampak tidak mungkin bagiku ternyata mungkin di mata Tuhan. Suatu malam, ketika aku kebetulan sedang berada di rumah ortu, ayah tiba² sakit dan pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya, dan kukira dia kena serangan jantung. Lalu aku menyadari bahwa ayah telah mengalami diare selama berhari-hari karena terserang infeksi. Aku bawa dia ke rumah sakit dan merawatnya selama beberapa hari. Aku lihat sikapnya bertambah lunak padaku dan dia mulai berbicara padaku lagi. Kami semakin dekat satu sama lain meskipun aku tidak kompromi apapun dengan imanku. Tuhan sekarang bekerja dalam diri ayahku dan aku mulai mendapatkan ayahku lagi. Tidak kukira keadaan sakit ayahku malah menyatukan kami kembali. Aku memuji Tuhan karena jalan-Nya sungguh berbeda dengan jalan pikiran kita.

Hal lain yang mengganggu perasaan ayahku adalah hubunganku dengan seorang gadis Kristen. Setelah hubungan kami membaik, dalam percakapan kami dia berharap agar aku mendengarkannya dan mau menikah dengan Muslimah yang mungkin nantinya bisa mempengaruhiku untuk kembali memeluk Islam. Di saat dia mengetahui aku pacaran dengan seorang gadis Kristen, dia jadi kecewa lagi. Habislah sudah harapan terakhirnya dan dia sangat tidak suka akan keputusanku. Dia berkata, “Aku tidak akan menerima kalian sebagai pasangan dalam rumahku.” Tapi aku harus bersabar dan berdoa terus untuk berjalan terus ke muka bersama imanku. Suatu saat aku mengambil keputusan untuk pulang mengunjungi keluargaku sambil membawa pacarku. Aku ingin ayah bertemu dengan calon istriku. Aku sudah siap menghadapi segalanya; yang terjelek adalah kami berdua diusir dari rumahnya. Tapi sungguh mengejutkan karena ayah ternyata bersikap ramah sekali terhadap pacarku. Ayah sangat suka padanya dan bahkan lebih banyak bicara padanya daripada denganku. Aku lihat tangan Tuhan bekerja sekali lagi. Kami pun lalu menikah dan hidup di rumah ortu sampai hampir setahun sebelum akhirnya kami pindah ke Prishtina karena pekerjaan.

Sekarang jika aku membandingkan kepercayaanku yang sekarang dengan yang dulu, aku melihat banyak perbedaan. Hal ini bukannya karena dulu aku tidak bahagia dengan Islam, tapi imanku yang sekarang sungguh tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Aku merasa Yesus memenuhi kekosongan dalam hatiku. Kekosongan ini dulu tidak mungkin diisi oleh apapun, baik agama ataupun perbuatan baik, karena ternyata tempat kosong dalam hati itu memang diciptakan untuk dihuni Tuhan sendiri.

Selain itu, setelah menerima Kristus, segala perbedaan lain antara agamaku yang dulu dan yang sekarang jadi jelas bagiku. Iman Islam terasa statis. Aku dulu percaya Tuhan itu memang ada, tapi jauuuh sekali dariku tidak peduli berapa banyak aku sholat atau puasa. Semua ibadah kulakukan karena rasa takut akan Allâh dan ancaman hukumannya. Sekarang, imanku berfungsi dan berdasarkan hubungan pribadi dengan Tuhan. Setiap perbuatan baik yang kulakukan sekarang merupakan hasil hubungan kasihku dengan Tuhan, dan bukannya dari rasa takut. Hal ini tentunya berhubungan pula dengan sifat Tuhan itu sendiri.

Tuhan dalam Alkitab menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang pribadi, dan inilah yang kualami hidup bersama-Nya selama bertahun-tahun sampai hari ini. Tuhan adalah Bapa bagiku dan aku adalah anak-Nya, dan dalam Islam hal seperti ini dianggap sebagai penghujatan. Aku sekarang menyadari bahwa Tuhan mencintai orang² berdosa tapi tidak mencintai dosa² itu, sedangkan dulu aku diajari melalui Qur’an bahwa semua orang² berdosa akan dibakar di neraka. Setelah itu masalah yang harus dihadapi adalah jaminan kehidupan yang kekal setelah mati.

Sewaktu dulu masih Muslim, aku tidak pernah merasa tenang karena tidak tahu ke mana aku akan pergi setelah mati. Meskipun aku telah berusaha keras untuk melakukan hal² yang baik, aku tidak pernah merasa cukup untuk bisa masuk surga. Sekarang aku tahu bahwa Yesus mengambil alih kutukan dosa terhadapku melalui mati di kayu salib bagi dosa²ku dan aku tidak perlu lagi membayarnya karena memang sudah dilunasi. Aku jadi yakin bahwa aku tidak usah lagi khawatir apakah kebaikanku lebih berat daripada kejahatanku jika ditimbang di Hari Kiamat. Hidup yang kekal berdasarkan iman pada Yesus adalah hadiah yang ditawarkan Yesus padaku sekali dan selamanya.

Dulu aku sering bertanya-tanya: Mengapa ya aku kok tidak pernah jauh dari dosa meskipun aku sudah melakukan segala kegiatan spiritual sekuat tenaga ? Aku tidak suka akan hal itu tapi tidak mampu untuk tidak melakukan dosa dalam hidupku. Setelah percaya pada Yesus Kristus, aku sadar bahwa aku punya kekuatan dalam diriku untuk mencegah tindakan berdosa dan menolak melakukannya. Ini tidak berarti aku tidak akan pernah lagi berbuat dosa karena aku masih saja terus berjuang mengalahkan sifat jelekku yang dulu, tapi ini berarti dosa tidak lagi berkuasa atas diriku.

Satu lagi hal yang dulu kurasakan: semakin aku percaya pada Islam, semakin besar pula rasa benciku pada orang² Yahudi dan Kristen. Tapi sekarang rasa benci telah lenyap dari hatiku. Malah lebih dari itu, aku mencintai Muslim meskipun mereka benci terhadapku. Kekuatan benci telah diganti dengan kekuatan kasih. Sholat dan puasa hanyalah kegiatan mekanis seperti robot saja. Aku belajar menghafal berbagai Sura dalam bahasa Arab, yang dianggap Muslim sebagai bahasa surgawi, tapi tidak kumengerti dan kulafalkan saja Sura² itu bagi Allâh. Sekarang, kegiatan doaku jauh lebih berarti karena aku bicara dalam bahasaku sendiri dan aku tidak mengikuti aturan² gerakan apapun. Aku berkata saja pada Tuhan segala isi hatiku dan aku tahu Dia akan selalu mendengarkanku. Andaikata pun aku puasa sekarang, aku tidak memberitahu siapapun. Cukup hanya Tuhan yang tahu dan melihatnya. Melalui puasa, aku berusaha mendekatkan diri pada Tuhan dengan mengenyampingkan hal yang paling utama dalam hidup yakni makanan. Aku meninjau kembali hidupku, meminta ampun atas segala dosaku, berdoa dan menatap hari depan sesuai dengan rencana Tuhan dan aku akan menyembah-Nya sebagaimana keberadaan-Nya.

Wahai teman², begitulah kisah bagaimana aku mengenal Yesus secara pribadi dalam hidupku. Sungguh hal itu merupakan hal yang paling berharga dalam hidup. Iman pada Yesus tidak ada hubungannya dengan agama, atau masalah agama ini lebih baik daripada agama itu, tapi lebih berhubungan langsung dengan hubungan baru yang sifatnya pribadi dengan Tuhan. Aku ingin kalian semua yang membaca kisahku menyadari tentang Yesus Kristus dan meminta Tuhan untuk mewujudkan diri-Nya padamu karena Dia itu setia dan menunggumu senantiasa. Terlebih lagi, Dia sendiri sudah berjanji untuk menjawabmu jika kau mencari-Nya dengan sepenuh hati.

Wahai teman², di masa lalu aku telah banyak berbuat kesalahan dan menyesal akan banyak hal, tapi satu hal yang tidak pernah kusesali adalah saat penting di mana aku beriman pada Yesus Kristus selamanya, sebagai Tuhan dan Juru Selamatku.

Ingat ya, pada saat ini Dia menyatakan ajakan padamu untuk memiliki hidup baru dengan-Nya, hidup yang penuh sukacita dan damai. Keputusan tentang nasibmu yang abadi terletak di tanganmu.


SALAM KASIH KRISTUS
DARIKU : IBRAHIM

Jumat, 08 Juni 2012

TUHAN YESUS MENYELAMATKAN ANAK KAMI 
(Sebuah Kesaksian)

Sekitar bulan Juli 2000, istri saya muntah-muntah dan sudah dua
minggu tidak juga membaik. Kami kira hanya sakit maag biasa, sampai
akhirnya kami membawanya ke dokter internis. Dokter menyatakan
positif hamil dan kabar itu kami sambut dengan penuh suka cita
karena sejak mengalami kelainan ginjal ia sulit mengandung dan
beberapa kali mengalami keguguran.

Selama kehamilan, kami rajin kontrol ke dokter dan rajin berdoa agar
ibu dan janinnya senantiasa dalam keadaan sehat. Sejak hamil tujuh
minggu, istri saya dianjurkan dokter untuk tidak terlalu lelah dan
dianjurkan untuk menerima suntikan penguat kandungan seminggu sekali
selama empat bulan pertama kehamilan.

Suatu hari pada saat kerja, istri saya merasakan kontraksi rahim dan
setelah istirahat sore harinya kontraksi itu sedikit hilang. Tanggal
15 Februari, sejak bangun pagi istri saya juga merasakan kontraksi
di rahimnya, tetapi ia tetap bersikeras pergi ke kantor. Sampai di
kantor, ia kembali merasakan sakit yang semakin hebat dan ia segera
menghubungi dokter. Ia segera disarankan untuk istirahat lebih
banyak.

Malam hari kontraksi itu kembali menyerang sampai membuatnya sulit
untuk tidur. Setelah kami berdoa bersama, akhirnya ia dapat tidur
walaupun dengan gelisah. Keesokan harinya kami ke rumah sakit karena
kontraksinya semakin hebat. Istri saya langsung dimasukkan ke kamar
bersalin oleh suster. Setelah dokter memeriksa grafik jantung janin,
akhirnya diputuskan untuk segera operasi caesar walaupun usia
kandungannya baru 32 minggu (delapan bulan).

Tepat pukul 8:30 pagi, 16 Februari 2001, bayi laki-laki kami lahir
dengan berat 2,2 kg dan panjang 45 cm. Kami menamainya Jonathan
Immanuel karena kami percaya bayi itu adalah anugerah Tuhan yang
akan selalu disertai-Nya. Namun, kebahagiaan kami terusik dengan
pernyataan dokter bahwa anak kami mengalami sesak nafas dan
mengalami pembesaran kelenjar timus sehingga harus segera dirawat di
ruang ICU. Karena kurang lengkapnya peralatan kedokteran yang ada,
bayi kami disarankan untuk dipindahkan ke rumah sakit yang lebih
lengkap peralatannya.

Setelah berembuk dengan semua keluarga, akhirnya Jonathan kami
pindahkan ke rumah sakit lain. Di sana ia dirawat oleh tim ahli yang
terdiri dari tujuh dokter. Ia harus diinfus dan diberi tambahan
darah dan selama beberapa hari tidak diperbolehkan untuk minum susu
(dipuasakan). Setiap hari darahnya harus diambil untuk diperiksa
kadar oksigen, infeksi, dan lain sebagainya. Dokter tidak
memperkenankan pihak keluarga meninggalkannya karena dia dalam
keadaan kritis.

Setelah seminggu dirawat, kami diberi kabar bahwa Jonathan menderita
hernia dan harus segera dioperasi. Seluruh tubuhnya membengkak
karena dia tidak bisa buang air kecil. Kami langsung menghubungi
pendeta untuk minta bantuan doa dan dukungan moral bagi kami.
Sepanjang hari kami terus berdoa dan selalu ada tim besuk yang
datang untuk mendoakan Jonathan. Puji Tuhan, akhirnya Jonathan
dinyatakan tidak perlu dioperasi dan hanya perlu sedikit diurut.

Kondisi Jonathan mulai membaik, tapi masih harus diberi pertolongan
pernafasan dengan pompa. Tuhan ternyata belum berhenti memberikan
ujian bagi kami. Kami kembali dikejutkan dengan pembekuan darah di
kepala serta pendarahan lambung. Tentu saja kami sangat sedih.
Tetapi kami masih bersyukur karena tim besuk dan pendeta masih setia
mendoakan dan memberikan dukungan moral kepada kami. Hampir setiap
jam besuk kami melantunkan pujian "Darah Tuhan Berkuasa".

Pada awal Maret, pembekuan darah di kepala Jonathan dinyatakan sudah
menghilang dan sedikit demi sedikit ia boleh diberi ASI. Namun, kami
masih merasa khawatir karena infeksi di tubuh Jonathan masih ada dan
harus terus diberi obat agar dapat melawan infeksi itu. Kami terus
berdoa untuk kesembuhannya dan sungguh ajaib, kondisi Jonathan
semakin membaik. Tepat di usia empat puluh hari, Jonathan sudah
tidak menggunakan bantuan pernafasan dan pemberian susu melalui
pipet mulai dicoba.

Hari Minggu, 8 April 2001, Jonathan diperbolehkan pulang dari rumah
sakit, tetapi masih harus tetap mendapat pengawasan dokter dan
dikontrol tiap seminggu sekali. Saat dikontrol, Jonathan dinyatakan
mengalami pembengkakan hati hingga tubuhnya menguning dan tidak
kunjung hilang walaupun sudah dijemur. Kami terus memohon agar
dipertemukan dengan dokter yang dapat menangani penyakit Jonathan.
Dan dengan terus berdoa, akhirnya Jonathan menunjukkan tanda-tanda
kesembuhan.

Pada tanggal 16 Juni 2001, Jonathan kembali harus dirawat setelah
mengalami sesak nafas karena banyaknya slem dalam saluran
pernafasan. Di tengah kebingungan, seorang saudara seiman
menyarankan kami mencoba pergi ke seorang dokter. Kami meminta
petunjuk Tuhan sebelum mengunjungi dokter tersebut. Hasil
pemeriksaan menyebutkan kalau Jonathan hanya mengalami alergi debu,
bulu, dan karpet serta dianjurkan untuk selalu minum susu kedelai.

Puji Tuhan, sejak saat itu hingga sekarang Jonathan tumbuh menjadi
anak yang sehat dan lincah. Kami terus mengucap syukur atas
pemberian Tuhan. Terima kasih juga kepada tim besuk yang telah
membantu doa untuk kami sekeluarga.

Kamis, 07 Juni 2012

HARGA SEBUAH PENGAMPUNAN 
(Sebuah kesaksian)

Di Paris, sebelum Perang Dunia II, tinggal seorang Perancis
keturunan Italia bernama Enrico. Dia berusaha di bidang bisnis
konstruksi. Tidak lama setelah mengenal Tuhan Yesus Kristus sebagai
Juru Selamat secara pribadi, dia keluar pada larut malam,
berjalan-jalan di tempat penjualan kayu miliknya.

Pada saat itu, dia melihat dua bayangan melompat dari sebuah truk
dan berjalan memasuki tempat penjualan kayunya. Dia berhenti dan
berdoa.

"Tuhan, apa yang harus kulakukan?" Sebuah rencana memasuki
pikirannya.

Dia berjalan menuju kedua orang yang sedang memuat beberapa batang
kayunya itu ke truk mereka. Dengan tenang, dia mulai membantu
menolong mereka mengangkut kayu.

Setelah beberapa menit, dia bertanya kepada mereka, "Untuk apa
kayu-kayu ini?"

Mereka memberitahunya dan dia menunjuk ke tumpukan kayu yang lain.
"Kayu yang di sana itu lebih baik untuk itu," jelasnya.

Ketika truk itu sudah penuh, seorang dari mereka berkata kepada
Enrico, "Engkau jelas seorang pencuri yang baik!"

"Oh, tetapi aku bukan seorang pencuri," jawabnya.

"Tentu saja! Kau telah menolong kami tengah malam begini. Kau tahu
apa yang kami lakukan."

"Ya, aku tahu apa yang kalian lakukan, tetapi aku bukan seorang
pencuri," katanya. "Kalian tahu, aku bukan pencuri karena ini adalah
tempat penjualan kayu milikku dan ini adalah kayuku."

Kedua orang itu sangat ketakutan. Orang Kristen itu menjawab,
"Jangan takut. Aku tahu apa yang kalian lakukan, tetapi aku
memutuskan untuk tidak memanggil polisi. Jelas kalian belum tahu
bagaimana untuk hidup secara benar, jadi aku akan mengajari kalian.
Kalian boleh memiliki kayu itu, tetapi lebih dulu aku ingin kalian
mendengar apa yang perlu kukatakan."

Dia memiliki dua orang pendengar! Kemudian pria itu mendengarkannya,
dan tiga hari kemudian keduanya bertobat. Yang satu menjadi pendeta
dan yang lainnya menjadi pemimpin gereja. Sejumlah kayu adalah harga
yang terlalu murah bagi dua jiwa. Yesus mengajar kita, bahwa satu
jiwa jauh lebih berharga daripada seluruh dunia.

Jadi, bukan pemberian kayu itu yang membuat kedua orang itu datang
kepada Kristus, melainkan tindakan pengampunan yang diulurkannya
ketika mereka tertangkap sedang mencuri. Mereka tahu Enrico dapat
saja membuat mereka tertangkap dan mereka tahu juga, bahwa orang ini
mengampuni mereka, bahkan sebelum mereka bertobat. Tindakan seperti
itulah yang dilakukan Yesus di kayu salib. Dia mengulurkan
pengampunan-Nya kepada kita sebelum kita bertobat.

Langkah pengampunan berikutnya yang dilakukan oleh Enrico lebih
mahal daripada sejumlah kayu.

Peristiwa ini terjadi setelah Nazi menginvasi dan mengambil alih
Perancis. Pada suatu malam, sebuah keluarga Yahudi datang ke
rumahnya. Dia membawa mereka masuk, menyembunyikan mereka dari
Gestapo selama dua tahun. Akhirnya, seseorang menemukan rahasianya
dan melaporkannya. Gestapo datang dan mengambil keluarga Yahudi itu,
kemudian menangkap Enrico.

Natal 1944, beberapa bulan setelah penangkapannya, Enrico masih di
penjara. Komandan kamp memanggilnya untuk melihat hidangan lezat
yang tersaji di atas meja. Komandan itu berkata, "Aku ingin kamu
melihat makan malam Natal yang dikirimkan istrimu untukmu sebelum
aku menikmatinya. Istrimu juru masak yang hebat! Dia telah
mengirimimu makanan setiap hari selama kamu di penjara dan akulah
yang menikmati semua makanan itu."

Saudara Kristen kita ini amat kurus, hanya tinggal tulang dibungkus
kulit. Matanya kosong memancarkan rasa lapar. Tetapi dia melihat ke
makanan yang tersaji di atas meja itu dan berkata, "Aku tahu istriku
ahli masak yang hebat! Aku yakin engkau pasti menikmati makan malam
Natal ini."

Komandan itu memintanya untuk mengulangi apa yang dikatakannya.
Enrico mengulangi ucapannya dan menambahkan, "Aku harap engkau
menikmati makan malam ini karena aku mengasihimu."

Komandan itu berteriak, "Keluarkan dia dari sini! Dia sudah gila!"

Perang berakhir dan Enrico dibebaskan. Perlu waktu dua tahun baginya
untuk memulihkan kembali kesehatannya. Dan Allah juga mulai
memberkati usahanya kembali.

Dia memutuskan untuk mengajak istrinya kembali ke kota tempat dia
dipenjarakan, untuk mengucapkan syukur kepada Allah yang telah
menyelamatkan nyawanya.

Ketika mereka tiba, mereka mendapat kabar, bahwa mantan komandan
penjara itu tinggal di desa yang sama. Sekali lagi, Allah memberi
sebuah gagasan kepada Enrico untuk pengampunan yang kreatif. Dia
teringat bahwa komandan itu senang pada masakan istrinya. Mereka
berbelanja, mencari sebuah tempat untuk memasaknya dan tidak lama
kemudian, mereka muncul di pintu rumah komandan itu dengan dua
keranjang makanan.

Mereka diundang masuk. Kemudian Enrico berkata, "Engkau tidak
mengenali saya, bukan?" Enrico jelas telah berubah. Berat badannya
telah kembali seperti semula.

Komandan itu menggelengkan kepalanya.

Kemudian Enrico mengingatkannya, "Pada hari Natal tahun 1944, saya
sedang berada di kantormu. Saya mengatakan bahwa saya mengasihimu
dan engkau menganggap saya gila."

Mantan komandan itu tampak pucat dan menjauhinya. Teman Kristen kita
berkata, "Jangan takut! Kami tidak datang untuk menyakitimu. Dulu
saya mengatakan bahwa saya mengasihimu dan saya masih tetap
mengasihimu."

Komandan itu berdiri terpaku dengan mata menerawang.

"Saya tidak gila, saya benar-benar mengasihimu. Dan saya ingin
menunjukkan kepadamu bahwa saya serius. Perang telah usai. Sekarang
waktu damai. Istri saya dan saya ingin duduk bersamamu dan istrimu
untuk makan bersama. Maukah engkau menerima permohonan kami?"

Saat mereka mulai menikmati makanan melimpah yang dimasak istri
Enrico, komandan itu tiba-tiba menurunkan pisau dan garpunya.

"Apa yang hendak kaulakukan terhadapku?"

Teman Kristen kita menjawab, "Tidak ada. Kami hanya ingin engkau
tahu bahwa kami mengasihimu. Kami mengampunimu."

"Bagaimana engkau dapat melakukan hal itu?"

"Kami jelas tidak mampu melakukan hal ini dengan kekuatan kami
sendiri," kata Enrico, "tetapi Yesus Kristus mengajari kami untuk
mengampuni." Enrico bersaksi tentang Yesus, dan sebelum orang itu
dapat melanjutkan makannya, dia berlutut untuk menerima Yesus
sebagai Juru Selamatnya pribadi.